Dari sela teralis penjarakan pandang …
“Aku tak ingin menyakitimu lagi …” Laki-laki itu terlalu pengecut untuk memandangku. Begitulah aku memaknai. Raut mukanya tak bisa kuselidik. Hanya suara samar, lirih, ragu-ragu, mengingatkan aku pada tenggorokanku yang sigap menahan suara, saat ada perasaan tidak percaya diri mencampakkan nada-nada denting melodi di ruang latihan. Aku takut sumbang. Laki-laki itu sama.
Kau tak pintar mencari alasan! Begitulah benakku memaknai. Bodoh. Kau lelaki bodoh. Begitulah batinku mengumpat. Gemuruh. Dadaku bergemuruh. Dan aku tersenyum, manis sekali.
“Terima kasih kau datang. Mau kopi???” tak dijawab.
“O iya, aku tadi ke toko kaset. Ini untukmu …” kusodorkan album The Heart of Everything milik Within Temptation itu padanya. Sebuah kata di cover album berkelebat menusuk penglihatananku. Frozen. Begitulah aku tiba-tiba. I can’t feel my senses.
“Thanks …” dia bergeming, dengan ekspresi yang sama, gelisah yang tak bisa kuselidik, di sofa merah kemarin baru kubeli, khusus untuk merayakan ulang tahunnya, laki-laki itu, bahkan dia tak tahu ini. Dia tak pernah menanyakannya. Sofa itu.
“Tadi aku sudah belanja. Aku akan undang teman-teman. Kita rayakan ultahmu di sini …”
“Sudahlah, K! Tolong kamu mengertiii!!” dia berteriak, suaranya meninggi.
Prang!! Secangkir kopi hitam berhamburan di karpet warna pelangi. All colors seem to fade away. Mataku basah. Kupunguti serpihan cangkir pecah tak lagi punya rupa di bawah kakiku. Begitulah caraku menyembunyikan air mata. Menyibukkan diri.
“Kita sudah berakhir …” dia lebih melunak kali ini.
“Aku mengerti …” bibirku bergetar. Seperti serpihan cangkir pecah tak lagi punya rupa di bawah kakiku. Begitulah aku memaknai. Hatiku telah rusak. Useless.
Laki-laki itu berdiri di sana, menatapku. Rahangnya masih menarik seperti tiga tahun lalu aku pertama kali melihatnya. Belah dagu kecil kesukaanku. Semua masih sama. Kecuali satu, perasaannya. Dia bukan lagi lelakiku. Aku tersenyum, manis sekali.
“Maaf ..” suaranya menghilang samar bersama mataku yang memburam. I can’t reach my soul.
*
Aku Menepi Bukan Lari
“Kemarilah!” begitulah kau menginginkanku.
“Aku tak bisa …” begitulah bunyi batas keinginanku.
“Melompatlah!” sungguh kau pemberontak.
“Itu akan menyakitkan …” sungguh aku pengecut.
Perempuan itu menatapku penuh harap. Ah, cukup sudah. Aku tak ingin menyakitinya … lagi. Tiga tahun bukan waktu yang pendek untuk memperjuangkan ini. “Kita berbeda, K! Kita beda.
“Bukankah Tuhan mengirim kita dengan kondisi yang sama? Sama-sama telanjang…” begitulah perempuan itu pernah bertanya.
“Ya. Kita pun akan kembali dengan kondisi yang sama …” aku meneguhkan.
“Lantas, kenapa kita tak boleh bersama?” dia menatapku. Memohon penjelasan.
Maaf, K. Aku tak tahu!
Dia menangis, perempuan itu, pekan lalu, saat mereka menolak hubungan kami. Ini pembicaraan ke-3 kali dalam 3 tahun ini. Dia selalu menangis. Tidak hanya 3 kali. Tapi berkali-kali. Hatiku lelah melihatnya.
“Kemarilah …” aku memeluknya, perempuan itu, membiarkan isaknya menghujam dadaku. Agar dia tenang, agar dia nyaman. Aku tahu kau sakit, K. Di dalam sana, aku lebih sakit. Aku mencintaimu!
Ah, cukup sudah. Aku tak ingin menyakitinya … lagi.
**
Batas. Ia bukan jarak.
Ia hanya seperti kata cukup. Mengisyaratkan sesuatu hanya “sampai di sini.” Seperti keset di depan pintu, yang merupakan tanda bahwa sebentar lagi kau akan memasuki rumah. Seperti Handphone yang dimatikan, ketika ingin menikmati waktu sendiri untuk membaca buku. Seperti tepi pantai dan laut lepas.
Terkadang ia seperti spasi, seperti koma, seperti tanda tanya, atau bisa jadi adalah titik. Tergantung kau akan sampai pada bagian yang mana. Mungkin saat ini kita sedang berada pada sebuah batas. Terdapat garis yang kita buat untuk diri sendiri. Ada kata “cukup” yang disodorkan ke permukaan. Batas seperti mengingatkan bahwa, ada masa kita pernah bersama. Supaya kita tidak lupa bahwa kita pernah mencinta tanpa “batas” itu. Kini tak lagi sama.
Kita masih saling melihat, tapi tak akan bersentuhan. Kita masih saling menginginkan, tapi tak ada lagi usaha sama seperti waktu itu. Kita masih berdiri di tempat yang sama, tapi hanya melambai dari kejauhan. Kita masih melewati tempat yang sama, tapi hanya bau parfummu yang tercium. Ia mungkin pemisah. Yang menjalankan tanggungjawabnya sekaligus sebagai pelerai. Mengajarkan kita merenung dan mengambil waktu. Ia bukan jarak, juga bukan sebagai pelarian. Hanya sebagai satu dunia, hanya cukup, hanya sampai di sini, tidak bisa lagi, tidak sanggup lagi, tidak mampu. Beberapa bahkan akan diiringi oleh kata “Tidak.”
Ia adalah “antara” yang membuat kau dan aku akan sama-sama melihat pada hitam mata kita, lalu berucap “sekian dan terima kasih.”
***
Dari sela teralis penjarakan pandang …
Sharon den Adel mengirim nada-nada melengking lewat mesin pemutar CD. Angin berhembus di ujung senja mengusik anak poni. I can’t feel my senses. I just feel the cold.
“Aku sedang memikirkanmu dengan otak. Bukan dengan hati. Hatiku telah kau rusak. Useless!” Aku tersenyum, manis sekali. [BKN]
BATAS : Dari Sela Teralis Penjarakan Pandang Sampah by KinanthialLeya Yunadi & Nuning Silowa
Nice picture. Thank alot vo Bondan Prahasta
Posted in singkat kata singkat cerita
Tags: batas, batas : dari sela teralis penjarakan pandang, beda, cinta, teralis