KEMENANGAN BESAR-KU ( FAUZAN ADHIMA )

7 Januari 1997

Ketika aku menemuka cinta dalam hidupku, tujuanku cuma satu. Menjadikannya tempat sandaran hidupku,yang akan mendampingiku dan melindungiku. Ketika pada akhirnya saat indah itu datang, cinta itu menjadi milikku dan dipersatukan dalam tautan yang akan kujaga mati-matian…..

10 Juni 2007

Ketika cinta itu telah melebur, aku mulai berfikir akan buah cinta yang akan hadir, yang sebagaimana aku dambakan sejak awal….

17 Oktober 2008

Akhirnya buah cinta itu tumbuh dalam diriku, menempel erat pada sebuah ruangan paling aman dan nyaman untuknya untuk tumbuh. Cinta kami mulai menyayangimu….
Setiap helaan nafasku aku bernafas untuknya,setiap pertumbuhannya menjadi kebahagiaan bagiku…
Kami mulai tidak sabar memelukmu…cinta…..

19 Maret 2009

Cintaku sudah berumur 22 minggu ketika aku mulai berfikir nama yang tepat untuknya, nama yang akan menjadi doa sampai dia dewasa kelak, yang kan disandangnya dan dibanggakannya satu waktu kelak, kami memberinya nama Fauzan Adhima, Cintaku akan jadi orang besar….
Hari-hariku penuh dengan Cinta, semua yang kulakukan demi Cinta, aku tak malu walau harus gendut, asal Cintaku sehat…

7 Mei 2009

Malam itu Cintaku harus dilahirkan.Karena pembukaan jalan lahir yang sudah lengkap dan tidak mungkin lagi dipertahankan.Seorang bayi laki-laki lahir dan sangat mirip dengan papanya. Aku sadar akan Cintaku, masih terlalu muda, kurang matang, Prematur…….
Secepat inikah Cintaku…????Usiamu baru 29 Minggu nak….!!!Beratmu bari 1500 gr, mama bahkan belum sempat mencuci baju dan bedongmu….
Dhima, begitu kami memanggilnya, lahir dengan Apgar Score yang rendah, beberapa jam setelah kelahirannya Dhima kesulitan bernafas karena kondisi paru-parunya yang kurang matang,karena bantuan oksigen kurang memadai Dhima harus dipindh ke RS yang lebih besar. Konsisinya lemah ketika aku kuatkan diriku untuk melihatnya di Inkubator, Kecil sekali,Kepalanya hanya sekepalan tanganku,panjangnya tak lebih dari 45 centi, lengannya hanya sebesar jari telunjukku, muka dan tubuhnya masih dipenuhi bulu-bulu halus yang lebat.
Aku ingin sekali menangis, tapi begitu aku panggil namanya, mata kecilnya terbuka dan menatapku, berair,dia tahu aku mamanya…..
Nak,padahal mama belum sempat menggendongmu, mama bahkan belum menyentuh kulitmu mama belum tau lebatkah rambutmu.Gagal sudah impianku untuk memberinya kolostrum pertamaku,karena dia harus puasa di hari pertama dalam hidupnya…..
Aku diliputi rasa bersalah yang amat-amat besar, aku merasa berdosa tidak menjaganya dengan baik dalam rahimku,Kenapa aku ya ALLAH…………..

14 Mei 2009

Minggu pertama Dhima sangat sulit.Keadannya tidak juga membaik…..
Nafasnya masih sesak, berat badannya terus menurun, dan tubuhnya kuning dan yang lebih menyedihkan lagi bagi ku,dia masih harus puasa….
Kami bertekad tidak akan meninggaalkanya di RS walaupun dia berada dalam ruangan steril dan kami tidak merawatnya langsung.Suamiku rela tidur di luar selama dia berada di RS.

17 Mei 2009

RS menelpon pagi-pagi buta.Pikiran buruk muncul dikepalaku.Ada apa dengan anakku???
Kami diminta segera datang ke RS. Dhima mengalami henti nafas…..
Saat itu badanku melayang, tulang-tulangku lolos dari tubuhku,dadaku sesak,aku menangis histeris membayangkan yang terburuk,aku berteriak mengiba pada Allah,Selamatkan Dhima ya Allah….
Kami sekeluarga diperbolehkan untuk melihatnya dalam inkubator,hal yang jarang sekali diperbolehkan di ruangan bayi.Ketika aku melihatnya,wajahnya pucat, nafasnya sesak,bibirnya putih,tapi ketika aku datang, tangan kecilnya meronta dari bedongnya,terulur…Aku ingin sekali menggendongnya,aku tahu Dhima minta tolong,aku tahu….aku mamanya!!!
Terbesit dalam pikiranku,akankah ini terakhir kalinya aku menyentuhnya????
Aku merasa putus asa pada saat itu,semakin menyedihkan rasanya melihat suamiku, yang berusaha terlihat kuat, tapi aku yakin sekali kalau hatinya juga hancur .Maafkan aku suamiku….
Aku semakin merasa bersalah….

24 Mei 2009

Keadaan Dhima mulai membaik. Nafasnya sudah tidak terlalu sesak, headbox dan selang infusnya nya sudah mulai dilepas dan tali pusarnya juga sudah lepas. Merupakan hadiah ualngtahun yang indah bagi papanya.Kemajuan yang luar biasa bagiku.
Kebahagiaan mulai muncul, ketika Dhima belajar menyusu langsung padaku, walaupun masih sangat lemah Dhima selalu beusaha belajar menyusu padaku, aku bahagia sekali walaupun ASI ku tidak banyak dan kebahagiaan yang tak terlukiskan ketika pertama kali aku bisa menggendongnya….
Sini nak…mama ingin sekali peluk Dhima, cium Dhima, Menyemtuh jarinya yang mungil….
Maafkan mama nak, kamu harus tidur sendiri di Inkubator yang panas sendiri,cepat sehat nak.Kita pulang…

1 Juni 2009

Keadaan Dhima drop lagi, lebih drastis,bahkan dia harus pakai oksigen lagi, harus diinfus lagi dan berat badanya terus menurun.Hatiku teriris setiap kali melihat lengannya ( yang hanya sebesar jari telunjukku ) harus ditusuk jarum infus yang besar. Andaikan aku bisa menggantikkanmu nak….Mama rela…..
Aku lebih frustasi lagi ketika melihat bayi yang dirawat di ruangan itu satu persatu mulai pulang dijemput orang tuanya, sedih dan iri melihat wajah bahagia menggendong bayi dengan selimut yang baru.Sedangkan aku sering menangis melihat baju Dhima yang sudah dicuci bersih dan disimpan dilemari masih tersusun rapi menunggu untuk dipakai.Terbesit pikiran, apakah anakku akan sempat memakainya??? Aku hampir tak sanggup menerima kado dari teman-teman,semuanya aku tumpuk tanpa membukanya…..
Aku telah mengerahkan segala daya dan upaya, mulai dari obat yang kami tebus diluar plafon askes, doa bantuan spiritual dan syarat-syarat yang harus aku lakukan menurut orang pintar.Sungguh, waktu itu aku rela melakukan semuanya…
Orang tua kami pun tak kalah susahnya, mereka sama cemasnya dengan aku dan suamiku. Karena Dhima cucu pertama mereka. Bergantian kami menjaganya di emper Rumah Sakit, menunggunya diluar dan melihatnya sesekali dari Jendela ketika jam besuk datang.Itupun hanya lima belas menit.

2 Juni 2009

Keadaan Dhima tambah menurun,bahkan dia mengalami Apnea-nya yang kedua.Aku bersikeras untuk melihatnya walau dilarang, dan didepan mataku sendiri aku melihat, perawat berusaha mengeluarkan lendir yang menyumbat dan kental karena oksigen.Lendir itu sudah bercampur darah….
Aku sudah mulai pasrah,apaun yang terjadi aku harus siap.Tapi hati kecilku tetap tidak bisa menerima kenyataan ini….

7 Juni 2009

Dhima sudah 1 bulan dirumah sakit, belum ada perkembangan yang baik,bahkan hari itu perawat mengatakan kalau Gula Darahnya naik turun.Dhima harus di transfusi.Tak bisa akal sehatku menerima ini semua. Anak sekecil itu? Transfusi….??
Kami harus mencari donor untuk Tranfusi pertamanya.Untungnya ada seorang teman baik yang tidak akan aku lupakan jasanya mau mendonorkan darahnya. Transfusi peratama dhima tidak menolong,2 hari kemudian dia harus transfusi lagi. Kali ini tantenya bersedia,dhima akhirnya menjalani transfusi keduanya…
Setelah tranfusi keduanya keadaan semakin memburuk.Gula Darah tetap tidak stabil,pernafasan semakin memburuk,dan berat badanya tinggal 1300 gr. Dokter mmutuskan untuk mengirim Dhima ke RS yang lebih besar di Surabaya.Hal yang sangat aku takutkan dengan resiko yang besar di perjalanan dengan kondisinya yang lemah.
Tapi entah mengapa, tidak ada keraguan dalam hatiku untuk membawa Dhima ke Surabaya . Aku sudah sangat-sangat pasrah. Jika memang Allah tidak memercayaiku untuk merawat Dhima , aku sudah ikhlas…Sangat Ikhlas….

8 Juni 2009

Akhirnya kami berangkat ke Surabaya, dengan diagnosis Hipoglikemi. Dengan sebuah Ambulans dan seorang perawat kami berangkat siang itu, aku hanya membawa sebuah kepercayaan bahwa ini adalah petunjuk Allah, untuk kesenbuhan Dhima atau ini semua cobaan Allah yang selama ini sudah sangat pemurah bagiku.
Dhima sangat pucat, dengan selang oksigen dan jarum infus ditanngannya, badanya sangat mungil,tak seimbang dengan ruang ambulan yang sangat besar, sebaliknya aku merasa sangat sesak ada didalamnya…
Kami tiba di ruang Gawat Darurat RS itu, RS yang sangt besar, dengan ratusan pasien gawat yang berasal daripuluhan kota di jawa timur. Aku merasa pusing,bingung dan takut di RS ini, dikota yang sama sekali asing bagiku,aku takut.Tapi aku hartus kuat demi Dhima…
Dhima masuk RS itu dengan diagnosa Sepsis dan keadannya sudah sangat-sangat buruk waktu itu. Kami masuk ruang perawatan bayi menjelang malam dan waktu itu tubunya sangat dingin, dan nafasnya sudah mulai tersengal-sengal.
Kami harus cari darah malam itu juga ke Bank Darah, suamiku pontang-panting menebus antibiotik dan mencari darah untuk Dhima pada saat yang bersamaan. Dan malam itu juga dokter meyakinkan kami bahwa keadannya sudah buruk sekali, mereka meyakinkan kami bahwa kami harus siap dengan keadaan yang terburuk karena mereka sudah berusaha semaksimal mungkin.Kami diminta berdoa dan pasrah….
Dalam hatiku aku sudah sangat,sangat,sangat,sangat pasrah….
Malam itu aku melihat sendiri, tangan dan kaki Dhima sudah tidak bisa ditusuk jarum infus lagi, semuanya macet.Aku shock sekali ketiaka mereka harus mencukur rambut Dhima dan menusukan jarum infusnya di KEPALA.
Kami tidur di emper rumah sakit besar itu. Dengan pikiran yang kosong,takut,bingung dan pasrah….

10 Juni 2009

Minggu pertama di RS itu dilalui Dhima dengan berbagai macam therapi antibiotik dan transfusi darah, berkantung-kantung darah yang harus kami tebus hampir tiap hari.Aku mulai berfikir,akankah masih ada darah orang tuanya tersisa dalam tubuh kecil itu? Yang lebih menyakitkan lagi, transfusi berlangsung sangat menyakitkan mengingat selang transfusi sering macet dan harus diganti dibagian tubuh Dhima yang lain.
Aku sempat menghitung bekas tusukan jarum yang ada di tanagn dan kaki Dhima. Lebih dari 30 bekas tusukan, termasuk bekas alat untuk mengaetahu kadar gula darahnya yang setiap hai harus di ulang.
Kami harus selalu berada didekat ruangan itu,karena takut ada hal penting yang disampaikan dokter menyangkut perkembangan Dhima.Kami tidur di teras RS yang lebarnya hanya 2 meter dan terbuka menghadap taman,aku tidak bisa mebanyangkan bagaimana jika hujan turun tengah malam disaat kami sedang tertidur,kami juga harus berbagi 1 kamar mandi kecil( WC dengan 1 bak kecil tepatnya) dengan puluhan orang yang bernasib sama juga dengan kami.
Bagiku hari-hari terasa sangat lambat,tiap pagi aku bangun menunggu-nungu apa yang akan terjadi hari ini, akankah keadaan Dhima membaik atau bertambah buruk.Seingatku,setiap hari aku cemas, apalagi setiap ada suster yang memanggilku dari dalam ruangan,aku akan cepat-cepat masuk (karena memang hanya ibu si bayi yang boleh masuk ruangan ) sambil berharap bukan kabar buruk, ternyata suster itu Cuma mau bilang kalau susu dhima sudah mau habis.

20 Juni 2009

Allah menunjukkan kebesarannya, Allah menjawab doa-doa kami .Dhima mulai menunjukkan kemajuan.Sepsisnya sudah mulai teratasi,Hasil kultur darahnya negatif,Gula darahnya mulai normal,berat badannya juga mulai naik. Dhima juga sudah mulai aktif,sangat bahagia ketika dia sudah lepas dari selang-selang yang biasa memenuhi tubuhnya. Aku mulai mleihat Dhima seperti ‘Bayi’, karena sebelumnya aku ngeri melihat Dhima dengan alat-alat medis disekitarnya. Dhima mulai intens menyusu padaku. Walaupun ASI ku sudah terlanjur tidak lancar karena faktor psikologis. Aku bertekad bisa menyusuinya,rasanya ada perasaan hangat dan nyaman ketika aku menggendong Dhima, apakah Dhima juga merasa begitu ya??

30 Juni 2009

Berat Dhima sudah 1600 gr, targetnya dia boleh pulang kalau sudah 1800 gram.Dhima juga sudah turun dari inkubator ke box bayi biasa. Sudah tidak ada masalah berarti lagi,tinggal menunggu berat badannya saja. Aku semakin bersemangat menyusui Dhima, karena ASI terbukti yang paling cepat untuk menmbah berat badannya.
Aku mulai melihat harapan di wajahku,suamiku dan orang tuaku yang setia menemani kami ‘kamping’ di rumah sakit. Mereka mulai tersenyum, sudah tidak ,menangis lagi seperti hari-hari pertama kami di RS. Kami sudah sangat optimis kalau Dhima akan segera pulang.

20 Juli 2009

Di RS besar ini perawatan nya sangat intens. Termasuk dari segi penaggulan resiko yang biasanya dialami oleh bayi-bayi prematur. Dokter spesialis yang ada di rumah sakit ini memeriksa pendengaran dan penglihatn bayi, yang memang kedua indra itu yang sangat beresiki. Terlebih lagi dengan kondisi Dhima yang pernah mengalami infeksi berat.
Disinilah kesabaran kami diuji lagi,ternyata kami terlalu sombong dan yakin kalau dhima sudah bisa pulang. Menurut hasil pemeriksaan telinga Dhima mengalami sedikit masalah, alat yang digunakan untuk memeriksa telinganya mengindikasikan sedikit masalah pada telinganya. Tapi pemeriksaan akan dilanjutkan seminggu setelahnya untuk mengetahui gangguannya. Dan peneriksaan mata Dhima pun tidak begitu memuaskan. Ada indikasi perusakan sel pada retinanya, hal ini sering terjadi bayi prematur yang harus memakai oksigen dalam jangka panjang. Memang aku sudah mengetahui masalah ini dari internet sebelumnya, dan sebelum di bawa ke Surabaya pun aku sudah pernah minta kepada dokter spesialis mata untuk melihat ROP-nya. Memang pada saat itu belum terlihat gejala ROP, setelah itu memang aku tidak terlalu m,emusingkannya karena Live Saving Dhima lebih utama.
Pemeriksaan mata inilah yang membuatku Down lagi.Aku takut terjadi apa-apa sama Dhima.Menurutku fatal kalau mata yang terganggu.Aku mulai teringat kisah bayi kembar yang ada di Jakarta.Aku mulai menagis lagi, depresi dan entah apa lagi namanya. Sejenak aku merasa bahagia, sekarang aku dihempas lagi jatuh…terpuruk.Tapi suamiku masih membesarkan hatiku, masih ada harapan di pemeriksaan kedua, setelah dihitung masa gestasi kehamilan ku seharusnya regresinya mebaik,perusakan selnya berhenti. Aku masih berusaha memebsarkan hatiku, berdoa dan terus berharap agar Dhima diberikan kesembuhan.
Akhirnya pemerikasaan kedua dilakukan, dengan perasaan gak karuan aku menunggu diluar, karena memang tidak boleh melihat proses pemeriksaan yang harus membalik bola mata Dhima dengan alat khusus. Aku sedih mendengar tangis Dhima yang kencang dari luar, aku tahu pasti dia kesakitan dan ketakutan menjalani peemrikasaan itu. Hingga pada akhirnya, suamiku dipanggil untuk bertemu dokter,perasaanku sudah tidak enak karena dokter hanya mau bicara pada suamiku,sedangkan aku dilarang bertemu dokter. Akhirnya kabat buruk itu aku dengar dari suamiku, regeresinya memburuk.ROP nya sudah stadium III, sedangkan stdium IV retina bisa lepas dan mengalami kebutaan. Dhima harus menjalani operasi laser untuk menghentikan perusakan selnya.Aku menagis sejadi-jadinya. Aku tidak bisa menerima kenyataan itu.Aku bertanya pada Allah , Cobaan apa lagi ya Allah???Rasanya aku gak sanggup lagi…
Rasanya semalaman aku menangis.ASIku tidak keluar hari itu. Perawat yang ada disana juga turut prihatin atas kondisi Dhima. Setahu mereka ini kasus pertama di ruangan itu. Bahkan tim dokter mata yang memeriksa Dhima juga tidak menjajnikan apa-apa setelah operasi dilakukan.
Suamiku terus meyakinkan aku bahwa semua ini cobaan,semua harus dihadapi karena bagaimanapun Dhima anak kami, dan bagaimanapun keadaanya Dhima harus tetap kami rawat. Butuh waktu buat aku bisa menerima keaadaan itu, sampai akhirnya aku sadar, apapun keadannya Dhima tetap anakku, dan aku mamanya yang harus menjaga dan melindunginya.
Sekali lagi aku pasrah…..

22 Juli 2009

Dhima mulai dipersiapkan untuk menjalani laser. Karena harus tepat, Dhima harus dibius total. Beberapa kali tim dokter yang menangani matanya memriksa Dhima.Kami pun sudah menandatangani surat pernyataan persetujuan operasi. Tim anastesinya pun juga melakukan beberapa pemeriksaan, mereka sempat ragu mengingat berat badan Dhima yang masih 1600 gr, tentang kemungkina suhu ruang bedah yang sangat dingin, sedangkan Dhima harus selalu hangat. Dan kemungkinan lain yang terjadi. Saat itu rasanya aku sudah tidak bis lagi mengikuti proses yang terjadi. Rasanya pikiranku kosong dan hampa,tak tahu apa yang harus dilakukan.
Ternyata menjelang operasi HB dhima turun dan sekali lagi, agar dia siap untuk operasi Dhima harus di transfusi lagi….

23 Juli 2009

Hari ini operasi Dhima, sangat kebetulan karena tanggal itu ada ruang operasi yang kosong an tim dokternya pun siap. Aku bangunm pagi untuk menyiapkan diriku,hatiku . Aku bertekad akan menemani Dhima hari ini. Selang bhuret sudah terpsang di tangan Dhima , dengan seorang dokter anak kami berangkat menuju ruang operasi dengan transporable inkubator. Waktu itu Dhima harus puasa sebelum operasi, jadi semalaman dia menagis karena haus dan lapar, perawat sampai memanggilku masuk ruangan tengah malam karena dhima menangis terus, dia hanya menghisap mpong agar dia nyaman. Aku kasihan sekali melihat Dhima harus puasa lagi, selam perjalanan menuju ruang operasi pun Dhima msih menangis, apalagi aku…..
Aku terus temani Dhima selama dia akan di bius, aku masih tidak tega melihat badan kecil itu di meja operasi. Bahkan dokter anastesinya pun berkata bahwa dia bayi terkeci yg pernah dibius total di lantai itu. Dhima masih terus menangis, aku masih menemaninya karena memang hanya ibunya yang boleh menemani. Sebenarnya aku tidak sanggup, tapi demi Dhima aku harus kuat. Nerkali-kali aku harus menghapus air mata, tenggoroaknku rasanya sakit menahan tangis. Aku bertekad tidak akan menagis, karena kau tahu,Dhima psti juga akan sedih.
Aku sempat berpamitan dengan Dhima aku katakan padanya, Dhima jangan takut,mama tunggu dibawah sama papa, Dhima gak boleh nagis karena Allah pasti jaga Dhima.Dhima harus berdoa juga ya,sama mama….
Sampai akhirnya Dhima dikeluarkan dari inkubator untuk dibius,dia mash menagis,bahkan lebih keras. Dhima diletakkan diatas bantal hangat khusus untuk menjaga suhu badannya. Aku disuruh keluar karena Dhima akan segera dibius, dengan tidak tega aku keluar, sambil terus terdengar suara Dhima menangis dan bunyi ‘tit-tit’ yang menyesakkan dada.
Ya ALLAh,aku titipka dia pad Mu ya Allah, lindungi anakku….
Operasi berjalan selama satu jam, tapi aku harus menunggu masuk recover room sampai 3 jam, rasanya waktu berjalan sangat lambat,Aku tidak bis bayangkan apa yang sedang terjasi di ruang operasi sana..
Akhirnya aku dipanggil untuk naik ke Recovery Room.Setenngah berlari aku nak,tak sabar ingin melihat keadaan Dhima. Diatas aku lansung masuk dan mendapati dhima sudah sadar dan menangis dalam inkubatornya. Dokter yang menangani sempat heran karena Dhima langsung menagis kencang dan menendang-nendang pintu inkubatornya dengan kuat. Mereka bilang kalau Dhima bayi yang kuat, dan aku langsung boleh menyusuinya. Dhima terlihat sangat haus, tapi karena masih dalam pengaruh obat bius, dhima masih malas menyusu, tapi dia terlelap waktu aku gendong, keliahtan nhyaman sekali. Aku sedikit tenang, bergantian dengan suamiku kami menunggui dhima sampai dia boleh dibawa kembali ke ruang perawatan.

24 Juli 2009

Hari-hari setelah operasi aku merasa lebih tenang. Aku sudah mulai belajar ikhlas atas semua yang terjadi. Mulai belajar bahwa, semua ini tidak lain adalah kehendak Allah.yang harus aku jalani. Aku sudah sangat siap atas keadaan Dhima,toh Allah sudah Maha Pemurah menyelamatkan dia dari masa-masa kritisnya dulu. Aku hanya ingin membawa Dhima pulang. Memperkenalkannnya pada saudara-saudaranya, memeperlihatkannya pada teman-teman yang selama ini sudah banyak membanyu kami. Tapi perasaan itu sudah tidak menggebu-gebu seperti dulu lagi. Aku sudah terbiasa menjalani hari-hari ku di RS.Tanpa berandai andai dan berani memprediksikan kapan akan pulang.

30 Juli 2009

Berat badan Dhima sudah 1700 gr.Berarti, tinggal 1 ons lagi dia sudah bisa kami bawa pulang. Teman-teman yang memiliki kasus yang sama sudah lama meninggalkan Rumas Sakit,berganti dengan orang-orang baru dengan berbagai penyakit yang selama hidupku tidak pernah,bahkan terbesit dalam pikiranku. Mata ku terbuka, bahwa masih banyak orang yang lebih menderita dari aku,lebih susah.
Dengan sabar aku menunggu hari itu, aku ingin pulang.Bahkan cutiku tinggal beberapa hari lagi.

5 Agustus 2009

Hari itu hari yang sangat aku nantikan,dokter yang menangani Dhima berkata bahwa Dhima diperbolehkan pulang. Kata-kata itu bagai air surga bagiku. Rasanya tidak percaya bahwa saat yang kami nantikan datang juga, suamiku juga sangat bahagia,sujud syukur dan tak henti-hentinya dia mengucapkan Alhamdulillah.
Esoknya, kami pulang. Dengan sangat antusias aku menyiapkan pakaian pertama dhima yang aku bawa,pakaian itu dipakai untuk pertama kalinya…masih sangat kebesaran. Lucu sekali.
Kami pulang, dan kami yakin kami tidak akan pernah melupakan tempat itu.


1 Agustus 2010

Itulah Dhima, seorang bayi kecil,titipan Allah yang mengajariku banyak hal. Bahwa kita manusia ini sangat kerdil tak ada apa-apanya dibanding kebesaran-Nya. Bahwa apapun yang terjadi sudah ada yang menetukan. Dhima juga mengajariku untuk bersabar, belajar untuk Ikhlas dan pasrah atas apa yang terjadi. Dhima juga yang membuka mataku akan mukjizat Allah yang nyata, dengan segala kebesaranNya. Dhima membuatku sadar bahwa menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah, menjaga amanah –Nya apalagi.
Semua yang kami alami adalah ujian bagi cinta kami. Ujian di usia pernikahan kami yang masih sangat muda. Ujian itu juga yang kelak akan membuat cinta kami semakn kuat, yang akan menjadi dasar kehidupan kami berdua seterusnya. Semoga saja, cobaan itu akan menjadi pengingat bagi kami kelak,ketika kami dihadapkan pada godaan-godaan yang menguji kesetiaan kami.
Rasanya bahagia sekali ketika aku melihat Dhima tumbuh besar. Walaupun dengan perawatan yang sedikit exstra, Dhima tumbuh menjadi bayi yang lucu, walaupun perkembangannnya tidak secepat bayi-bayi seusianya. Sekarang Dhima berumur 15 bulan, bagiku perkembangan sekecil apapun sangat membahagikan.
Mungkin aku tidak akan dapat melewati ini semua tanpa kuasa Allah, Bantuan dan doa dari Saudara,Teman, Dokter dan orang –orang yang banyak membantu kami,peduli pada kami dan mau baerbagi dengan kami. Terima kasih bagi semua….Allah akan membalas semua amal ibadah mereka.
Sekarang Dhima,mama dan papanya bertekad akan menjalani hidup ini dengan tegar dengan selalu mengharap Ridho Allah…

(ditulis oleh Merry Setiawan, Ibunda Dhima) 🙂

~ by Nuning Silowa on August 2, 2010.

Leave a comment